Start to Write

Pentingnya Memahami Tujuan

Posted in Islam by eecho on June 17, 2016

Dalam hidup semua memahami bahwa ada titik awal dan juga titik akhir, kecuali tentunya bagi Sang Pencipta Allah SWT. Memahami titik awal dan titik akhir ini menjadi sangat penting, karena pemahaman ini akan mempengaruhi perjalanan atau proses yang dilalui. Katakanlah Adi dan Asep yang berasal dari Bandung akan melakukan perjalanan. Adi bertujuan ke Jakarta dan Asep bertujuan ke Surabaya. Maka perbedaan tujuan kedua orang tersebut mempengaruhi usaha, arah dan tentunya titik akhir yang akan dicapai, bahkan pada langkah pertama pun (katakanlah jika mereka berjalan) akan berbeda, yang satu ke barat dan yang satu ke timur. Kemudian pertanyaannya adalah dari sekian banyak tujuan yang ada, mana tujuan yang benar? apakah tujuan yang harus ditempuh itu ke Jakarta ataukah Surabaya?

Begitu juga dengan hidup, dimana titik awalnya adalah kelahiran di dunia, maka ada titik akhir atau tujuan yang harus ditetapkan. Maka Allah SWT berfirman dalam surat Al-Insan ayat 2 :

إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS 76:2)

Dalam ayat ini Allah memberikan petunjuk kepada kita, bahwa maksud dari penciptaan manusia di bumi ini hakikatnya untuk diuji dengan perintah dan larangan. Dari ayat ini kita mendapat dua term yang sangat penting, pertama bahwa hidup ini adalah ujian dari Allah, dan Allah memberikan potensi untuk bisa melewati ujian tersebut dengan memberikan potensi kepada kita yaitu pendengaran dan penglihatan, yang indikasi dari pendengaran dan penglihatan tersebut adalah Akal, alat untuk berpikir.

Pada ayat selanjutnya Allah memberikan petunjuk lagi tentang komponen yang lain :

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS 76:3)

Komponen yang lain yang sama pentingnya untuk melewati ujian dari Allah SWT adalah Huda[n] (Petunjuk). Tapi di ayat ini juga dijelaskan bahwasannya ada dua tipe manusia, yang satu menerima petunjuk tersebut dan yang satu menolaknya (kufur). Apakah petunjuk yang dimaksud itu, tidak lain adalah Al-Quran.

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (QS 2:2)

Maka dari ayat-ayat ini dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia di bumi ini adalah untuk diuji sehingga Allah SWT memberikan manusia potensi untuk berpikir mana yang benar dan mana yang tidak melalui petunjuk yang Allah berikan yaitu Al-Quran al-Karim.

Kenapa harus menjelaskan hal ini, bukankah setiap muslim pasti sudah tahu tentang hal ini?

Seharusnya begitu, tetapi dalam dunia yang sekulerisme saat ini (fashlu al-din anil hayah) banyak muslim kehilangan orientasi hidup. Saat ini banyak dari kita yang menjadikan dunia ini sebagai tujuan, dengan menjadikan kekayaan dan pemenuhan kebutuhan materi sebagai tujuan utamanya. Sehingga tidak sedikit dari kaum muslim terjerembab dalam riba, terjebak dalam pergaulan bebas, menggunakan aturan-aturan kafir padahal Islam mengatur semua hal.

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS 16: 89)

Banyak dari kaum muslim asing dengan istilah Sistem Ekonomi Islam, Sistem Pergaulan Islam, Sistem Pemerintahan Islam dan lainnya, karena pada dunia sekulerisme ini Islam dikerdilkan hanya dalam pembahasan-pembahasan ibadah nafilah. Kebanyakan orang terlena dengan tujuan utamanya, sehingga mereka menyesal ketika mereka harus menemui titik akhir dalam hidupnya yaitu kematian.

“ويلٌ لمن قرأها ولم يتفكر فيها”.

“Celakalah orang yang membacanya dan tidak memikirkannya.”

Maka mutlak bagi setiap manusia untuk memahami tujuan sebenarnya dan mutlak pula memahami Huda[n] (Petunjuk) yang Allah berikan yaitu Al-Quran. Akan celaka bagi setiap manusia yang mengabaikan petunjuk-petunjuk dari Allah dan lebih senang dengan aturan-aturan yang dibuatnya sendiri. Wallahu Alam.

BelajarBahasa.ID

Posted in About My Mind by eecho on March 16, 2016

“Because without our language, we have lost ourselves. Who are we without our words?”
Melina Marchetta, Finnikin of the Rock

Ya, bahasa adalah jembatan komunikasi, tanpanya peradaban tidak akan terbangun, dan ilmu pengetahuan akan hilang. Sepanjang sejarah manusia yang cukup lama, manusia tersebar ke seluruh penjuru dunia menghasilkan berbagai macam dialek, bahasa dan kultur yang berbeda. Setiap bahasa dan kultur memiliki keunikan tersendiri, dan juga menyimpan sejarahnya masing-masing. Kemudian datang masa dimana setiap orang kini dapat mengakses informasi apapun di manapun, itulah dimana internet telah menjangkau disetiap jengkal hidup manusia. The world is flat, istilah ini muncul bukan secara harfiah, tetapi maknanya setiap orang kini bisa dikatakan memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses informasi, dan pada saat ini dapat dikatakan bahwa Information is power.

Hanya saja ada satu kendala ketika kita sudah dapat mendapat akses informasi itu, bahasa. Kini sudah banyak situs-situs yang mendokumentasikan buku-buku hingga ribuan sebagai dokumentasi dari ilmu pengetahuan dan peradaban. Sayangnya buku-buku tersebut ditulis dengan bahasanya, dan masih sulit menemukan buku-buku alih bahasa untuk koleksi-koleksi klasik. Oleh karenanya mau tidak mau, kemampuan bahasa untuk subjek yang sedang kita baca mutlak harus dikuasai. Walaupun kini sudah ada berbagai teknologi untuk melakukan translasi, tetapi hasilnya belum ideal, apalagi jika tulisan itu termasuk jenis sastra yang cita rasa bahasanya cukup mendalam.

Disinilah visi belajarbahasa.id muncul, dengan infrastruktur internet yang kini sudah menjangkau cukup luas, seharusnya dapat kita jadikan kesempatan untuk membuat connected world menjadi kenyataan. Kendala pembelajaran bahasa ini yang sedang dicoba untuk diselesaikan, bayangkan jika setiap orang Indonesia dapat dengan mudah belajar bahasa apapun yang dia butuhkan.

Walaupun kita pahami pembelajaran bahasa tidaklah mudah, apatah lagi tanpa adanya interaksi langsung guru-murid secara tatap muka. Tapi bukankah dengan kendala itu mendorong manusia berinovasi menghasilkan solusi-solusi baru untuk menyelesaikan masalah. Belajarbahasa.id adalah langkah awal untuk menyelesaikan masalah tersebut, tentu inovasi-inovasi baru perlu ditemukan untuk semakin mendekatkan kepada tujuannya, Menjadi sarana pembelajaran bahasa online secara efektif.

“Personally I think that grammar is a way to attain beauty.”
Muriel Barbery, The Elegance of the Hedgehog

Proses Belajar

Posted in About My Mind, Informatika by eecho on February 17, 2015

Setelah lulus dari perguruan tinggi, praktis pembelajaran yang saya lakukan biasanya bersifat otodidak dan hasil dari diskusi-diskusi atau coaching-coching singkat. Tidak ada lagi suatu penjelasan secara sistematis bab per bab dari buku referensi yang memiliki jumlah halaman yang banyak. Karena pembelajaran yang sifatnya tidak formal, maka referensi-referensi biasanya dari artikel-artikel praktis, buku-buku praktikal yang singkat, jika ada pun buku yang komprehensif paling hanya beberapa bab yang di baca.

Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia praktisi, ganjalan yang masih terasa sejak pertama berkecimpung di dunia praktisi adalah adanya gap yang cukup besar antara teori yang dipelajari di kampus dan praktek yang dilakukan dilapangan. Karena bisa dibilang tidak “tuntas” dalam pembelajaran konseptualnya, sehingga sulit menyambungkan potongan-potongan konsep yang ada tadi dengan masalah praktikal. Karena memang dilapangan kita tidak dapat menemukan model masalah yang ideal, sehingga dibutuhkan kreatifitas yang dilandaskan pada konseptual yang baik yang implementable di lapangan.

Permasalahan pemahaman yang sepotong-potong ini membuat keputusan-keputusan dilapangan bisa dibilang kehilangan ruh-nya. Oke lah kita bisa mendapatkan list of best practice yang implementable, step by step yang proven, tetapi ketika ada suatu perbedaan pendapat tentang solusi yang seharusnya, kita tidak bisa melakukan reasoning yang memuaskan terhadap solusi-solusi yang kita pilih. Karena potongan-potongan pemahaman yang dimiliki hanya sebatas best practice yang secara buta kita adopsi. (more…)

Revisi atas Kesalahan Pemahaman Rizki (Kutipan Islam Politik dan Spiritual)

Posted in Islam, Uncategorized by eecho on October 23, 2013

Pemikiran “rizki di tangan Allah” juga telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong, dan tidak membentuk mafhum apa-apa, terutama ketika makna pemikiran yang diyakini tadi bisa mendorong seorang muslim agar melakukan aktivitas seusai dengan mafhum-nya. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan tahayyul dalam diri mereka. Pemikiran khurafat dan tahayyul itu, antara lain adalah, “rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki”, “rizki itu bergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, rizkinya lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan”, “rezki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, di satu sisi jumlah pembaginya bertambah, maka rizkinya tentunya berkurang.” Inilah pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang dan mencengkram kaum muslimin saat ini.

Akibatnya, umat Islam ini menjadi umat yang materialistik, yang tidak bisa berkorban untuk kepentingan Islam dan menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau yang lain, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas berfikir, namun hanya semata-mata untuk meraih kenikmatan materi. Karena itu, ketika tujuannya telah tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah tercapai. Inilah pemikiran-pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang di tengah kaum muslimin. Semuanya ini adalah debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari benak mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah SWT” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang. (more…)

Tagged with: ,

Khilafah, Bentuk Sempurnanya Penerapan Islam

Posted in Uncategorized by eecho on March 26, 2013

Istilah khalifah, Imam atau Amirul Mu’minin mempunyai makna yang sama, yang ditujukan kepada kepemimpinan tertinggi di dalam tubuh umat Islam. Sebagaimana dapat disimpulkan dari pendapat Abul Hasan al Mawardi, Ibnu Hazm maupun At Taftazani dll. Kesimpulan mereka dilandasi oleh isyarat atau nash-nash qoth’iy firman-firman Allah maupun sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Hai orang-orang yang beriman, tha’atlah kepada Allah dan tha’atlah kepada Rasul-(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu…” (S. An-Nisa : 59).

Sedangkan Khilafah adalah konstitusinya dimana umat Islam di pimpin oleh seorang Khalifah.

Mengapa Khilafah Penting?

Ajaran Islam sangat lengkap dan detail, seluruh aspek kehidupan manusia tercakup didalamnya , mulai dari urusan yang sederhana seperti etika makan dan minum hingga urusan yang lebih luas seperti negara dan aturan yang ada didalamnya. Selain itu khabar sempurnanya islam (QS: Al-Maidah 3), rupanya disertai perintah Allah untuk mengimplementasikan islam secara sempurna.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya..” (QS: Al-baqarah 208)

Tanpa adanya Khilafah, maka implementasi islam menjadi tidak sempurna, karena hukum-hukum peradilan dalam islam seperti Ta’zir, Jinayat, dan Qishas tidak dapat dilaksanakan, sedangkan semuanya itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Kebijakan-kebijakan lain pun terkait ekonomi, sosial tidak dapat pula diterapkan pada tingkat negara tanpa adanya institusi yang melindungi penerapannya, yaitu Khilafah.

Kelalain dalam penerapan Islam ini akhirnya menimbulkan banyak kedzaliman yang dialami kaum Muslim yang tidak bisa dihentikan, karena tidak ada institusi melindunginya, yaitu Khilafah. Sedangkan Rasulullah telah berpesan dalam hadistnya,

“Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]

Perkara penting ini tidak boleh sampai dilalaikan oleh kaum muslim, setiap detik tanpa adanya Khifalah, berarti telah terjadi banyak kemaksiatan, juga kedzaliman yang terjadi. Perjuangan tegaknya Khilafah ini bukanlah perjuangan bagi sekelompok orang saja, tapi harus menjadi perjuangan bagi setiap kaum Muslim.

 

 

Tagged with: ,

Parallel Learning

Posted in Uncategorized by eecho on February 28, 2013

Pada dasarnya manusia tidak dapat berpikir hal yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, kita hanya bisa melakukan context switching, berpikir satu hal pada satu waktu, kemudian memindahkan fokus kepada hal lain setelah satu urusan selesai. Tapi pada kenyataanya di era saat ini, kita seakan-akan dituntut untuk bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu (multitasking), begitu juga dengan pembelajaran, kita belajar banyak subjek dalam satu waktu. Belum selesai satu subjek itu dibahas, kita harus mempelajari subjek yang lain, karena kita memiliki banyak kepentingan.

Ketika di kampus atau di sekolah, framing context terasa lebih mudah, ketika sudah masuk jam pelajaran suatu subjek, maka kita fokus terhadap subjek tersebut, dan dosen atau guru pun membatasi hal-hal yang diajarkan pada jam tersebut, dibagi menjadi bagian-bagian kecil yang bisa dicerna oleh kita dengan batasan waktu tersebut. Tanpa kita sadari bahwa memilah-milah materi dan menyusunnya adalah suatu hal yang sulit dan kita harus berterima kasih kepada guru dan dosen kita untuk hal itu.

Pada dunia kerja, kita tidak mendapatkan keistimewaan itu, subjek-subjek yang lebar dan dalam tidak lagi dipecah-pecah dalam pembahasan-pembahasan kecil, tidak ada jam-jam khusus untuk memahami materi-materi tersebut. Ditambah pada dunia kerja, kita tidak tahu kapan interupsi itu datang, dan masalah apa yang muncul pada interupsi tersebut, sehingga belajar menjadi hal yang sangat sulit, karena kondisi yang ada sulit membuat kita fokus pada satu hal pada satu waktu.

Fakta yang sering saya rasakan adalah context switching terjadi begitu cepat, kita tidak bisa berlama-lama fokus pada satu subjek, karena subjek yang lain menunggu untuk di pikirkan. Menjadi berbahaya karena hal-hal tersebut berulang-ulang, fokus kita hilang, dan belajar menjadi hal yang sangat sulit. Kualitas membaca menjadi menurun, juga kemampuan mengingat dan memahami materi.

Konsentrasi dan milestone menjadi penting disini. Karena tuntutan untuk multitasking sulit untuk dihilangkan, kita harus bisa mengoptimalkan pecahan-pecahan waktu yang sempit untuk belajar. Istilah milestone disini seperti chapter/bab dalam buku. Kita sulit melakukan jeda jika kita membaca novel dan berhenti di pertengahan chapter. Kalau terpaksa ada jeda, kadang kita perlu mengulang membaca lagi dari awal. Oleh karena itu mengakhiri bab menjadi penting, tapi bagaimana jika bab itu merupakan bab yang panjang? sedangkan kita dibatasi waktu yang sempit.

Menghadapi persoalan di atas kita harus bisa membuat bab-bab sendiri (batasan sendiri), misal ketika saya membaca, saya batasi terlebih dulu di pembahasan definisi, untuk analisis saya pisahkan di waktu yang lain, walaupun itu masih dalam bab yang sama. Lebih penting mencerna dan mengingat definisi-definisi diawal terlebih dahulu dibandingkan menyelesaikan bab tersebut secepat mungkin.

Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah, konsentrasi dan elaborasi. Ketika kita membaca, kita mendapatkan definisi-definisi, premis-premis penulis dan argumentasinya. Hal yang sering terjadi adalah kita membaca tetapi mudah sekali lupa dengan apa saja yang baru dibaca. Saya merasakan hal itu pada saat terlalu banyak pikiran, sehingga sulit konsentrasi pada materi yang dibaca, sehingga akhir dari membaca tidak bisa di elaborasi.

Proses elaborasi adalah proses mengulang pemahaman kita akan bacaan, benarkah asumsi penulis, benarkah definisinya, benarkah analisisnya, apa make sense, apa runutan analisisnya sudah valid, dan seterusnya. Jika kita bisa mengelaborasi materi yang kita baca, biasanya kita ingat lebih lama terhadap materi tersebut, dan bisa menyampaikannya kepada orang lain.

Tagged with: ,

Praktis vs Pragmatis

Posted in About My Mind, Islam by eecho on November 15, 2012

Saya suka gemes ketika ada yang melayangkan statement NATO yang ditujukan kepada orang-orang yang aktivitasnya adalah seputar kajian-kajian, ceramah, diskusi-diskusi. Mereka seakan melihat aktivitas-aktivitas itu tidak bersifat praktis, harusnya ucapan-ucapan itu dibuktikan dalam bentuk ril seperti bakti sosial, membangun instansi ekonomi, dll.

Kenapa aktivitas itu disebut tidak konkret, padahal aktivitas kajian/diskusi itu sifatnya ril, ada, terindra, terlihat dan memiliki pengaruh. Jika aktivitas-aktivitas ini dianggap tidak konkret, maka tuduhan itu sama juga ditujukan kepada pembelajaran-pembelajaran di ruang kelas sekolah, universitas, diskusi-diskusi di media dll. Tetapi tuduhan itu tidak toh di tujukan pada sistem pendidikan saat ini yang aktivitasnya adalah pembahasan-pembahasan di ruang kelas.

Ketika seseorang melihat aktivitas kajian/diskusi bukan sesuatu yang konkret, sesungguhnya mereka tidak memahami akar permasalahan yang ingin diselesaikan. Permasalahan yang terjadi pada umat saat ini adalah adanya imperialisme pemikiran, dan kini umat lumpuh secara pemikiran, sehingga sulit membedakan mana yang baik dan buruk untuk umat. Sama seperti analisis rendahnya tingkat daya saing nasional yang menyimpulkan bahwa tingkat kompetensi SDM kita rendah, dan solusinya adalah peningkatan kompetensi, peningkatan kualitas pendidikan, yang kesemuanya aktivitas tarbiyah.

Oleh karena itu pembahasan praktis vs pragmatis menjadi penting, karena rupanya aktivitas-aktivitas yang dianggap konkret itu didasari oleh sikap pragmatis (pragmatisme). Pada pola pikir pragmatis, kita ingin melihat efeknya secara langsung, tanpa menganalisis terlebih dahulu apa itu akar masalahnya. Sehingga proses tarbiyah itu sebenarnya bersifat praktis (practicable) hanya tidak pragmatis.

Bersikap pragmatis tidaklah salah, tergantung konteks masalah yang kita hadapi. Untuk masalah yang harus segera diselesaikan, maka kita harus bersikap pragmatis. Tetapi untuk masalah yang kompleks dan proses yang panjang dalam menyelesaikan masalahnya tidak dapat kita selesaikan secara pragmatis. Menyelesaikan permasalahan tersebut butuh proses dan waktu.

Misalnya pada statement “gak usah sekolah yang penting mah cari duit” sangat kental cara berpikir pragmatis. Pada titik dia mencari uang tentu “efek” perbuatannya terlihat jelas, uang. Dibandingkan dengan anak yang sekolah yang tidak menghasilkan “efek” secara langsung (red: uang). Tetapi pemikiran tersebut sangat berbahaya, ketika kita membutuhkan pemikir-pemikir dalam bidang ekonomi, hukum, teknologi, untuk sparing dengan pemikir-pemikir lain, maka kita tidak mampu, dan akhirnya di dikte sepenuhnya oleh negara-negara maju. Begitu juga dengan permasalahan umat islam, akar masalah yang terjadi adalah, umat islam tidak dapat lagi menggali hukum-hukum praktis untuk permasalahan saat ini berdasarkan pemikiran islam. Sehingga kita mengadopsi pemikiran-pemikiran asing, demokrasi, ekonomi liberal, trias politica, yang dengan itulah sebenarnya asing melakukan imperialisme.

Tujuan akhir dari proses tarbiyah pemikiran ini apa? kondisi yang harus tercapai adalah, umat Islam harus memiliki kemandirian berpikir dalam menyelesaikan masalah-masalah ril yang dihadapinya. Bagaimana Islam mengatur sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan. Dengan kemandirian berpikir itu lah asing tidak lagi bisa mendikte kita untuk melakukan ini dan itu. Juga dengan kemandirian berpikir itu kita dapat mengetahui konspirasi-konspirasi yang terjadi dan apa sikap politik yang harus dilakukan.

Wallahu Alam

Tagged with: ,

Mengapa Harus Bermimpi Besar

Posted in About My Mind, Islam, Sastra Creation by eecho on June 19, 2012

Jika membaca quote-quote orang besar, ada saja satu kalimat yang berbunyi “bermimpi besarlah”. Kalimat sederhana yang ternyata tidak semudah perkataan. Kenyataannya pun membuktikan bahwa tidak banyak orang yang memang bermimpi besar, sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjalani hidup dengan normal.

Mengapa hal itu sulit? karena mimpi besar berarti juga tantangan yang besar. Memindahkan batu kecil tentu tidak perlu tenaga dan pikiran yang besar. Berbeda ketika memindahkan sebuah gunung, maka tenaga dan pikiran yang dibutuhkan akan sangat-sangatlah besar. Untuk apa kita bersusah payah mengejar mimpi itu? bukankah lebih mudah mencari jalan yang lebih ringan?

Apa untungnya bagi kita memiliki mimpi yang besar? Apa untungnya bagi kita mengeluarkan energi yang sangat besar? Apa untungnya bagi kita mengorbankan waktu-waktu santai kita dengan pekerjaan yang menyita tenaga dan pikiran? jawaban semua pertanyaan itu adalah, karena orang yang bermimpi besar tahu bahwa waktunya saat ini bukanlah titik akhir.

Seorang peserta marathon akan terus berlari, walau rasa panas, sakit, haus, terus menggerogoti dirinya sepanjang perlombaan. Mengapa? karena dia sangat menyadari bahwa dia belum di garis finish. Seterik apapun matahari, sepanas apapun jalan yang dia lewati selama dia masih memiliki tenaga maka dia akan terus berlari. Walaupun dia bukanlah juara pertama, dirinya akan sangat puas ketika berhasil mencapai garis finish tersebut, apalagi jika dia berhasil menjadi pemenang. Itulah titik akhir, itulah garis finish, garis yang memisahkan antara yang terus berlari dengan yang sekedar berjalan bahkan berhenti.

Jika kita menyadari sepenuhnya bahwa hidup ini bukanlah titik akhir, maka tentu kita berharap untuk memiliki mimpi besar yang jika tercapai nanti semoga menjadi medali kita saat melewati garis finish kelak. Kita sangat menyadari bahwa, obrolan perjuangan dan kemenangan hanya terjadi ketika perlombaan telah selesai, apa yang akan kita katakan jika kita berhenti berlari sebelum garis finish dilewati?

Tagged with: ,

Abstraction

Posted in About My Mind by eecho on April 27, 2012

Kata-kata yang saat ini sering saya ucapkan adalah “abstraction”, suatu kata yang sulit untuk dijelaskan, tetapi menjadi kunci dari konsep-konsep yang selama ini rupanya salah untuk dipahami.

Dalam konteks pembahasan saya abstraction adalah the concept behind the fact, dan abstraction inilah yang rupanya inti knowledge dari best practice yang kita sering lakukan.

Saya tidak akan membahas dulu masalah ini secara mendalam, soalnya saya juga masih belum bisa mengartikulasikan masalah abstraction ini dengan baik. Tulisan ini hanya sebagai catatan saya agar tidak lupa untuk mengelaborasi hal ini lebih jelas lagi.

Pujangga Tua Tidak Lagi Puitis

Posted in Minus Serius, Sastra Creation by eecho on November 4, 2011

Setelah menikah jadi kurang puitis-puitis lagi ~.~, ditagih-tagih terus ama istri puisi-puisinya :P. Akhirnya saya menyimpulkan rupanya jomblo itu mendorong seseorang untuk jadi seorang pujangga, dengan kesendiriannya, kemeranaannya maka dia mudah mengungkapkan isi hatinya yang sembilu (no offense) hehe.

Alasan-alasan suami yang sudah menikah tidak lagi puitis dan romantis :

  1. Pusing mikirin kerjaan dan kebutuhan rumah tangga… [istri: ah standar…]
  2. Tidak lagi galau 😀 … [istri:wew…]
  3. Duh sayang sudah terlambah kerja….[istri:huh!]
  4. Aku tak akan berhenti…menemani…dan menyayangimu…[istri:ah lagunya wali itu]
  5. Untuk apalagi puisi sayang, kau kan sudah disampingku… sini-sini 🙂 [istri:klepek2]

Bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah berbuat baik pada istrinya.(HR:Imam Tirmidzi & Ibnu Hibban)