Start to Write

Revisi atas Kesalahan Pemahaman Rizki (Kutipan Islam Politik dan Spiritual)

Posted in Islam, Uncategorized by eecho on October 23, 2013

Pemikiran “rizki di tangan Allah” juga telah mengalami pergeseran sehingga kehilangan maknanya. Pemikiran tersebut menjadi kosong, dan tidak membentuk mafhum apa-apa, terutama ketika makna pemikiran yang diyakini tadi bisa mendorong seorang muslim agar melakukan aktivitas seusai dengan mafhum-nya. Dengan hilangnya makna pemikiran tersebut, kemudian berkembang khurafat dan tahayyul dalam diri mereka. Pemikiran khurafat dan tahayyul itu, antara lain adalah, “rizki tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rizki”, “rizki itu bergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai, rizkinya lebih banyak, demikian juga seorang atasan lebih banyak rizkinya dibanding bawahan”, “rezki adalah materi yang dapat dihitung secara matematika, sehingga ketika jumlahnya berkurang, di satu sisi jumlah pembaginya bertambah, maka rizkinya tentunya berkurang.” Inilah pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang dan mencengkram kaum muslimin saat ini.

Akibatnya, umat Islam ini menjadi umat yang materialistik, yang tidak bisa berkorban untuk kepentingan Islam dan menjadi orang yang bakhil, takut menentang kezaliman karena khawatir akan kehilangan kedudukan dan hartanya. Jika mencari ilmu, belajar atau yang lain, juga tidak bertujuan untuk meningkatkan kualitas berfikir, namun hanya semata-mata untuk meraih kenikmatan materi. Karena itu, ketika tujuannya telah tercapai, proses belajarnya akan berhenti. Sebab semuanya telah tercapai. Inilah pemikiran-pemikiran khurafat dan tahayyul yang berkembang di tengah kaum muslimin. Semuanya ini adalah debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari benak mereka, sehingga makna pemikiran “rizki di tangan Allah SWT” tersebut benar-benar jernih dan cemerlang. (more…)

Tagged with: ,

Khilafah, Bentuk Sempurnanya Penerapan Islam

Posted in Uncategorized by eecho on March 26, 2013

Istilah khalifah, Imam atau Amirul Mu’minin mempunyai makna yang sama, yang ditujukan kepada kepemimpinan tertinggi di dalam tubuh umat Islam. Sebagaimana dapat disimpulkan dari pendapat Abul Hasan al Mawardi, Ibnu Hazm maupun At Taftazani dll. Kesimpulan mereka dilandasi oleh isyarat atau nash-nash qoth’iy firman-firman Allah maupun sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

“Hai orang-orang yang beriman, tha’atlah kepada Allah dan tha’atlah kepada Rasul-(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu…” (S. An-Nisa : 59).

Sedangkan Khilafah adalah konstitusinya dimana umat Islam di pimpin oleh seorang Khalifah.

Mengapa Khilafah Penting?

Ajaran Islam sangat lengkap dan detail, seluruh aspek kehidupan manusia tercakup didalamnya , mulai dari urusan yang sederhana seperti etika makan dan minum hingga urusan yang lebih luas seperti negara dan aturan yang ada didalamnya. Selain itu khabar sempurnanya islam (QS: Al-Maidah 3), rupanya disertai perintah Allah untuk mengimplementasikan islam secara sempurna.

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya..” (QS: Al-baqarah 208)

Tanpa adanya Khilafah, maka implementasi islam menjadi tidak sempurna, karena hukum-hukum peradilan dalam islam seperti Ta’zir, Jinayat, dan Qishas tidak dapat dilaksanakan, sedangkan semuanya itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Kebijakan-kebijakan lain pun terkait ekonomi, sosial tidak dapat pula diterapkan pada tingkat negara tanpa adanya institusi yang melindungi penerapannya, yaitu Khilafah.

Kelalain dalam penerapan Islam ini akhirnya menimbulkan banyak kedzaliman yang dialami kaum Muslim yang tidak bisa dihentikan, karena tidak ada institusi melindunginya, yaitu Khilafah. Sedangkan Rasulullah telah berpesan dalam hadistnya,

“Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]

Perkara penting ini tidak boleh sampai dilalaikan oleh kaum muslim, setiap detik tanpa adanya Khifalah, berarti telah terjadi banyak kemaksiatan, juga kedzaliman yang terjadi. Perjuangan tegaknya Khilafah ini bukanlah perjuangan bagi sekelompok orang saja, tapi harus menjadi perjuangan bagi setiap kaum Muslim.

 

 

Tagged with: ,

Parallel Learning

Posted in Uncategorized by eecho on February 28, 2013

Pada dasarnya manusia tidak dapat berpikir hal yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, kita hanya bisa melakukan context switching, berpikir satu hal pada satu waktu, kemudian memindahkan fokus kepada hal lain setelah satu urusan selesai. Tapi pada kenyataanya di era saat ini, kita seakan-akan dituntut untuk bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu (multitasking), begitu juga dengan pembelajaran, kita belajar banyak subjek dalam satu waktu. Belum selesai satu subjek itu dibahas, kita harus mempelajari subjek yang lain, karena kita memiliki banyak kepentingan.

Ketika di kampus atau di sekolah, framing context terasa lebih mudah, ketika sudah masuk jam pelajaran suatu subjek, maka kita fokus terhadap subjek tersebut, dan dosen atau guru pun membatasi hal-hal yang diajarkan pada jam tersebut, dibagi menjadi bagian-bagian kecil yang bisa dicerna oleh kita dengan batasan waktu tersebut. Tanpa kita sadari bahwa memilah-milah materi dan menyusunnya adalah suatu hal yang sulit dan kita harus berterima kasih kepada guru dan dosen kita untuk hal itu.

Pada dunia kerja, kita tidak mendapatkan keistimewaan itu, subjek-subjek yang lebar dan dalam tidak lagi dipecah-pecah dalam pembahasan-pembahasan kecil, tidak ada jam-jam khusus untuk memahami materi-materi tersebut. Ditambah pada dunia kerja, kita tidak tahu kapan interupsi itu datang, dan masalah apa yang muncul pada interupsi tersebut, sehingga belajar menjadi hal yang sangat sulit, karena kondisi yang ada sulit membuat kita fokus pada satu hal pada satu waktu.

Fakta yang sering saya rasakan adalah context switching terjadi begitu cepat, kita tidak bisa berlama-lama fokus pada satu subjek, karena subjek yang lain menunggu untuk di pikirkan. Menjadi berbahaya karena hal-hal tersebut berulang-ulang, fokus kita hilang, dan belajar menjadi hal yang sangat sulit. Kualitas membaca menjadi menurun, juga kemampuan mengingat dan memahami materi.

Konsentrasi dan milestone menjadi penting disini. Karena tuntutan untuk multitasking sulit untuk dihilangkan, kita harus bisa mengoptimalkan pecahan-pecahan waktu yang sempit untuk belajar. Istilah milestone disini seperti chapter/bab dalam buku. Kita sulit melakukan jeda jika kita membaca novel dan berhenti di pertengahan chapter. Kalau terpaksa ada jeda, kadang kita perlu mengulang membaca lagi dari awal. Oleh karena itu mengakhiri bab menjadi penting, tapi bagaimana jika bab itu merupakan bab yang panjang? sedangkan kita dibatasi waktu yang sempit.

Menghadapi persoalan di atas kita harus bisa membuat bab-bab sendiri (batasan sendiri), misal ketika saya membaca, saya batasi terlebih dulu di pembahasan definisi, untuk analisis saya pisahkan di waktu yang lain, walaupun itu masih dalam bab yang sama. Lebih penting mencerna dan mengingat definisi-definisi diawal terlebih dahulu dibandingkan menyelesaikan bab tersebut secepat mungkin.

Kemudian hal yang tidak kalah penting adalah, konsentrasi dan elaborasi. Ketika kita membaca, kita mendapatkan definisi-definisi, premis-premis penulis dan argumentasinya. Hal yang sering terjadi adalah kita membaca tetapi mudah sekali lupa dengan apa saja yang baru dibaca. Saya merasakan hal itu pada saat terlalu banyak pikiran, sehingga sulit konsentrasi pada materi yang dibaca, sehingga akhir dari membaca tidak bisa di elaborasi.

Proses elaborasi adalah proses mengulang pemahaman kita akan bacaan, benarkah asumsi penulis, benarkah definisinya, benarkah analisisnya, apa make sense, apa runutan analisisnya sudah valid, dan seterusnya. Jika kita bisa mengelaborasi materi yang kita baca, biasanya kita ingat lebih lama terhadap materi tersebut, dan bisa menyampaikannya kepada orang lain.

Tagged with: ,