Start to Write

Praktis vs Pragmatis

Posted in About My Mind, Islam by eecho on November 15, 2012

Saya suka gemes ketika ada yang melayangkan statement NATO yang ditujukan kepada orang-orang yang aktivitasnya adalah seputar kajian-kajian, ceramah, diskusi-diskusi. Mereka seakan melihat aktivitas-aktivitas itu tidak bersifat praktis, harusnya ucapan-ucapan itu dibuktikan dalam bentuk ril seperti bakti sosial, membangun instansi ekonomi, dll.

Kenapa aktivitas itu disebut tidak konkret, padahal aktivitas kajian/diskusi itu sifatnya ril, ada, terindra, terlihat dan memiliki pengaruh. Jika aktivitas-aktivitas ini dianggap tidak konkret, maka tuduhan itu sama juga ditujukan kepada pembelajaran-pembelajaran di ruang kelas sekolah, universitas, diskusi-diskusi di media dll. Tetapi tuduhan itu tidak toh di tujukan pada sistem pendidikan saat ini yang aktivitasnya adalah pembahasan-pembahasan di ruang kelas.

Ketika seseorang melihat aktivitas kajian/diskusi bukan sesuatu yang konkret, sesungguhnya mereka tidak memahami akar permasalahan yang ingin diselesaikan. Permasalahan yang terjadi pada umat saat ini adalah adanya imperialisme pemikiran, dan kini umat lumpuh secara pemikiran, sehingga sulit membedakan mana yang baik dan buruk untuk umat. Sama seperti analisis rendahnya tingkat daya saing nasional yang menyimpulkan bahwa tingkat kompetensi SDM kita rendah, dan solusinya adalah peningkatan kompetensi, peningkatan kualitas pendidikan, yang kesemuanya aktivitas tarbiyah.

Oleh karena itu pembahasan praktis vs pragmatis menjadi penting, karena rupanya aktivitas-aktivitas yang dianggap konkret itu didasari oleh sikap pragmatis (pragmatisme). Pada pola pikir pragmatis, kita ingin melihat efeknya secara langsung, tanpa menganalisis terlebih dahulu apa itu akar masalahnya. Sehingga proses tarbiyah itu sebenarnya bersifat praktis (practicable) hanya tidak pragmatis.

Bersikap pragmatis tidaklah salah, tergantung konteks masalah yang kita hadapi. Untuk masalah yang harus segera diselesaikan, maka kita harus bersikap pragmatis. Tetapi untuk masalah yang kompleks dan proses yang panjang dalam menyelesaikan masalahnya tidak dapat kita selesaikan secara pragmatis. Menyelesaikan permasalahan tersebut butuh proses dan waktu.

Misalnya pada statement “gak usah sekolah yang penting mah cari duit” sangat kental cara berpikir pragmatis. Pada titik dia mencari uang tentu “efek” perbuatannya terlihat jelas, uang. Dibandingkan dengan anak yang sekolah yang tidak menghasilkan “efek” secara langsung (red: uang). Tetapi pemikiran tersebut sangat berbahaya, ketika kita membutuhkan pemikir-pemikir dalam bidang ekonomi, hukum, teknologi, untuk sparing dengan pemikir-pemikir lain, maka kita tidak mampu, dan akhirnya di dikte sepenuhnya oleh negara-negara maju. Begitu juga dengan permasalahan umat islam, akar masalah yang terjadi adalah, umat islam tidak dapat lagi menggali hukum-hukum praktis untuk permasalahan saat ini berdasarkan pemikiran islam. Sehingga kita mengadopsi pemikiran-pemikiran asing, demokrasi, ekonomi liberal, trias politica, yang dengan itulah sebenarnya asing melakukan imperialisme.

Tujuan akhir dari proses tarbiyah pemikiran ini apa? kondisi yang harus tercapai adalah, umat Islam harus memiliki kemandirian berpikir dalam menyelesaikan masalah-masalah ril yang dihadapinya. Bagaimana Islam mengatur sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan. Dengan kemandirian berpikir itu lah asing tidak lagi bisa mendikte kita untuk melakukan ini dan itu. Juga dengan kemandirian berpikir itu kita dapat mengetahui konspirasi-konspirasi yang terjadi dan apa sikap politik yang harus dilakukan.

Wallahu Alam

Tagged with: ,