Start to Write

Self Confidence is Mentality not About Capacity

Posted in About My Mind by eecho on November 8, 2008

Sebelumnya saya berpikir bahwa seseorang yang percaya diri dikarenakan dia memiliki kelebihan dibandingkan orang lain, karena kelebihan itulah dia memiliki kepercayaan diri. Setelah dipikir-pikir ada suatu budaya yang sudah dilakukan sejak kita kecil sampai sekarang sehingga apa yang dinamakan kepercayaan diri menjadi harga yang cukup mahal.

Jika kepercayaan diri dibatasi karena kita memiliki kelebihan maka statement tersebut adalah statement ‘kalah-menang’ artinya orang baru bisa percaya diri jika ada orang yang lebih ‘bawah’ dibandingkan dia, dan dia tidak dapat merasa percaya diri ketika ada orang ‘diatas’ dia. Saya pikir hal ini tidak konstruktif sama sekali, efek dari seseorang yang kehilangan kepercayaan diri adalah dia menilai rendah dirinya, sehingga potensi-potensi yang dia miliki tidak keluar, atau merasa tidak layak tuk dikeluarkan, sekali lagi merupakan hal yang tidak konstruktif.

Seperti paragraf pertama, budaya apa yang membuat kita membayar mahal tuk percaya diri, budaya itu adalah budaya ‘comparing’, membanding-bandingkan satu person terhadap person yang lain. Budaya itu sepertinya telah menjadi budaya universal, padahal jika saya pikir2 tidak ada gunanya sama sekali hal tersebut. Justru efek negatif ketika membandingkan satu sama lain, karena setiap orang itu benar-benar unik, setiap orang memiliki potensi-potensi yang berbeda.

Jika pada suatu event kita membentuk suatu kepanitiaan, maka kita akan lihat siapa2 yang layak menduduki suatu jabatan sesuai dengan kapabilitas masing-masing orang. ‘comparing’ kapabilitas antara anggota organisasi untuk menduduki suatu jabatan tidak bersifat negatif, karena yang memang diharapkan adalah memberikan urusan pada ahlinya sehingga kepanitiaan akan berjalan lancar. Pada pemilihan tersebut kita tidak berfokus pada ‘orang’ tetapi pada kapabilitas/kemampuan, sehingga tidak ada intensi membandingkan satu sama lain secara personal.

Comparing yang bersifat negatif adalah membandingkan satu individu dengan individu lain hanya tuk kepentingan ‘kepuasan’, ’emosi’, bukan ditujukan untuk mencari orang yang tepat dalam satu posisi. Comparing ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, seperti statement2 :

  • Tuh liat si A mah bisa dapet gaji gede, kalo adiknya mah boro-boro
  • Si A mah emang pinter, mana mungkin saya bisa nyainginnya
  • Klo si A mah emang punya bakat
  • Si A dah ganteng, kaya, pinter lagi, gak level deh ama kamu

Kelihatannya statement-statement itu biasa, padahal klo dipikir-pikir lagi statement itu berdampak psikologis. Karena ada budaya comparing tersebut, orang dapat menjadi tidak percaya diri akan suatu hal, sebenarnya suatu hal yang wajar jika ada yang lebih pintar atau lebih handal, itu sangat-sangat manusiawi. Tetapi ketika hal itu dibanding-bandingkan menjadi suatu hal yang tidak berguna. Jika setiap orang melepaskan belenggu dari ‘paradigma’ lebih/kurang dari seseorang, dia akan merasa lepas ketika melakukan sesuatu, tidak merasa terbebani karena akan ‘dijudge’ dengan statement2 comparing. Padahal statement ‘comparing’ itu gak berguna sama sekali, kalau menurut saya.

Sangat manusiawi jika setiap orang berbeda!! Entah budaya comparing secara personal (tuk kepuasan emosi/psikologis) itu dari mana, pada sirah rasul, atau hadist2, tidak pernah saya membaca adanya suatu comparing personal antara para sahabat rasul.

So…Self Confidence adalah hak setiap orang, stop comparing, you will release yourself from other ‘justification’, klo saya lebih lambat ngerjainnya, klo lebih lemot, so what? Ya udah klo emang ada yang lebih bagus karyanya beli yang labih bagus aja, paling saya jual karya saya dengan lebih murah…beres :D.

Ketika kita ingin mengkhitbah/meminang seseorang nggak perlu dicompare si dia dengan diri sendiri, klo diterima alhamdulillah, klo ditolak yah berarti gak jodoh…beres :D. Yang penting dah ikhtiar!!!

Gak ada alesan klo saya miskin, saya bodoh, saya jelek, saya gak boleh percaya diri :D, yang saya takut dari budaya comparing2 itu adalah munculnya kesombongan, seolah2 kapabilitas yang dia miliki membuat dia lebih mulia dibandingkan orang lain. Yang paling jelas terlihat sih efeknya adalah rasa minder, inferior, padahal saya yakin setiap orang memiliki potensi yang besar, sayang terlalu dikerdilkan oleh sistem.

“Orang yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa”

6 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. firda said, on November 27, 2008 at 3:22 pm

    ketika saya membacanya…. seperti luapan emosi…..

    bagus… menyadarkan.
    setiap manusia memiiki kelebihan masing-masing….

    tapi menurut saya ada yang lebih salah dari “membandingkan orang”….
    jika kita melakukan “justification’ ke orang lain tentang sifatnya….[kita langsung meng-jugde dia siifatnya seperti itu tanpa kita bertanya ke yang bersangkutan kenapa sikapnya seperti itu, minta klarifikasi, mencari info seanyak-banyaknya]… sehingga kita bisa berfikir benar dan objektif ketika menilai seseorang…..
    bisa jadi ketika seseorang bersikap pasti ada alasannya, dan bisa jadi hanya pada saat itu saja…[jika negatif]
    setiap manusia pasti bisa berubah terlepas semakin baik atau buruk.. tapi pastinya seorang muslim dia akan ingin berubah ke arah yang lebih baik…

    punten, jika rada tdk nyambung.. tapi saya rasa “budaya membandingkan” bisa jadi terbentur dari “karaktersistik gender”….

  2. eecho said, on November 28, 2008 at 9:29 am

    hmmm sip-sip..

    tapi masih gak ngerti maksud dari statement terbentur dari karakteristik gender.

  3. firda said, on November 29, 2008 at 1:38 am

    ketika saya baca buku “karaktersistik ikhwan ato akhwat”… Psikology Komunikasi…

    dlam dunia akhwat “kebiasaan mereka”… tidak semua sih, hanya fakta mereka senang membicarakan “kalau bahasa lintasnya mah suka membicarakan kelebihan orang kemudian di bandingin dengan, bisa diri sendiri, atau untuk memberikan contoh ke orang lain… sebaliknya kalau di ikhwan “kalau di buku yang saya baca sih, mengatakan tidak suka membicarakan hal yang seperti itu”…

    bisa jadi ketika akhwat berbicara ke ikhwan seperti “memberikan contoh kelebihan orang lain” salah di artikan oleh ikhwan, ikhwan berpandangan itu merendahkan harga dirinya…. padahal maksud akhwat tidak seperti itu….. di satu sisi akhwat pun harus bisa mafhum… ini terjadi di kehidupan umum mau itu rapat lembaga da’wah.. atau apapun..

    intinya mah kita harus berfikir benar, slah satu tandanya
    @.Identifikasi fakta atau masalah, pendekatan fakta
    @.Analisis = pengaitan antara fakta
    @.Penerapan hukum

    ketika interaksi di atas menjadi masalah…..

    orang yang berfikir benar tidak akan secara langsung peng-justification, dia akan berusaha untuk mengusus fakta secara detail.. dia akan bertanya kepada yang bersangkutan,minta klarifikas

    problem identifikasi

    @.berfikir benar
    @.fakta harus benar
    @.hindari asumsi -sesuatu hal yang belum pasti-
    @.hindari distorsi = fakta-fakta yang sedikit

    Resep berfikir Benar
    @.deteli fakta dan teliti sumber
    @.selalu mencari peluang

    Problem Analisis
    akumulasi informasi untuk temukan fakta yang sebenarnya
    kaitan fakta dengan informasi terkait dengan fakta-fakta
    hindari informasi yang bias berupa asumsi isu atau desas desus nu teu jelas…
    hilangkan praduga ”kayanya… apa mungkin…. kok bisa yah….”… prasangaka-prasangka nu nyengsarakeun hati.. jangan terjebak dengan presepsi awal
    pemastian kepada yang bersangkutan

    Problem dalam Berfikir Benar
    @.dorongan ketaqawaan yang lemah dan takut mengambil resiko
    @.tidak adil
    @.tidak berani
    @.tidak ada ketegasan
    @.toleransi terhadap kesalahan…..
    @.emosi dll

    standar peerbuatan adalah hukum syara’…. betul???
    ketika terjadi perbedaan kembalikan lagi bagaimana cara pandang islam mengaturnya…

    tangkyu….

  4. firda said, on November 29, 2008 at 1:39 am

    gimana cara ganti “icon” nya… wajahku tidak seperti itu… perasaan ku juga tidak sedang marah….
    nuhun

  5. eecho said, on November 29, 2008 at 5:14 am

    terima kasih banyak atas masukkannya

    wah maaf, icon itu digenerate ama wordpress…kebetulan ukhti sedang tidak beruntung dapet icon itu, gak masalah lah..

    oh jadi klo akhwat memandangnya seperti itu, klo laki-laki sih emang lebih bersifat ‘kompetisi’ klo dibanding-bandingkan, jadi memang klo dibandingkan dirinya tuh ibaratnya “siapa yang lebih kuat”, karena ada ‘garizatun baqa’ jadi menganggapnya ‘menang-kalah’…

    tapi menisbikan perasaan dalam sebuah interaksi memang sulit, kadang memang ‘first impression’ sulit tuk dihilangkan, atau kesalahan kecil yang sulit tuk dilupakan. Kadang memang tidak fair menjustifikasi seseorang hanya dari beberapa fakta saja, dan itu butuh ‘pikiran jernih’ tuk melihatnya, karena seringnya pikiran jernih itu tertutupi emosi.

  6. firda said, on November 29, 2008 at 6:24 am

    saya juga pernah bersikap seperti itu…..

    pengalaman yang akan membukakan “mata” kita untuk melihat kesalahan2 apa yang sudah kita buat… ada rasa menyesal…

    “presepsi awal atau kesan pertama” tidak selalunya benar seperti itu apa adanya… kadang kita sering terbelenggu dengan “Presepsi awal atau asumsi “dugaan-dugaan yang belum pasti faktanya seperti itu”

    inilah uniknya karakterisistik manusia dan kita berusaha untuk memahamnyai dengan pendekatan baik secara kognitif/intelektual maupun “efektif” / perasaan nya…

    bersikap dewasa dan bijak akan mengalahkan ego dalam diri serta mau melihat dan menerima kekurangan orang lain…

    simple aja kalau bagi saya, mencoba untuk open mind kepada siapapun….. walaupun realisasinya ga gampang-gampang amir..

    karena kita juga harus menghargai ketika orang tidak bersikap terbuka pasti ada lasannya bukan karena “sifat negatif”….

    bersikap dewasa… ketika seseorang memiliki karakter yang baik tapi ketika dia melakukan kesalahan yang tidak kita sukai, kita langsung “berpandangan” dia “negatif” ibarat dalam dirinya tidak ada kebaikan sedikit-pun..

    Rasul Saw mengingatkan kita ketika ada sifat yang tidak kita sukai dari orang lain maka ingatlah kebaikan-kebaikannya…..

    mustahil seseorang bisa “mencampurkan karakternya dengan orang lain” tidak akan pernah terjadi… disini di tuntut sikap kita untuk saling memahami dan mencoba untuk saling menerima….

    yupss… mudah-mudahhan realisasinya di mudahkan… butuh kesabaran…

    hidup tidak selalu akan kita terima sesuai dengan apa yang kita inginkan..

    masalah itu bukan masalah itu sendiri tapi “bagaimana penyikapan kita” itu yang sering jadi masalah…..

    nuhun.. punten bilih ada yang salah… saya mafhum di ikhwan tidak suka di kasih “tausiyyah”… atau bahkan di koreksi…

    yuppy, ini hanya sekedar “memberi cerita” tidak ada maksud ke arah sana… banzaai


Leave a comment